Powered By Blogger

Selasa, 12 Juli 2011

Nagita Slavina

Dubai, Dubai, oh Dubai. Sejak pertama kali gue datang kemari gue udah terperangah dengan sistem manajemen kota ini. Tata letak, arsitektur, lalu lintasnya serba tertata membuat gue serasa berada di simulasi komputer aja. Di sini membangun skycrapper kayak menaruh rumah-rumahan monopoli. Seperti ada tangan raksasa yang menaruh mereka sehingga bisa apik kalau dilihat dari kejauhan. Udah gitu bentuknya aneh-aneh lagi. Bentuk-bentuk yang loe bayangkan hanya bisa dipahat atau diukir pada benda seukuran lemari bisa lo temuin ukuran Godzilla-nya di gedung perkantoran sini.


Jadi selain faktor suhu udara yang kayak neraka, gue betah. Gue akan menetap cukup lama. Apalagi sepertinya bisnis di sini tidak sesimpel yang gue bayangin awalnya. Pertama, banyak saingan. Kedua, gue rada nggak ngerti logika dagangnya orang Arab. Mereka kalau markup anggaran itu norak senorak-noraknya. Bisa sampai tiga kali lipat! Gile nggak tuh. Perlu kejelian lebih menghadapi orang-orang ini.

Dan...dan...dan...gue yakin ini akan mengagetkan loe. Gue punya pacar (lagi) sekarang. Hehehe. Lebih tepatnya calon istri sih. Soalnya gue belum ngapa-ngapain sama dia. Gue menganggap dia adalah faktor untuk membuat status sosial gue tampak normal. Gue jadi anak baik-baik di depannya. Walau gimanapun gue tetap berasal dari keluarga Indonesia. Menginjak usia 30 –walau dengan tampang 6 tahun lebih muda (ini fakta, Bung)- dan masih melajang sudah pasti membuat orang tua kelenjotan. Ortu gue nggak frontal sih nyuruh gue cepet nikah. Paling cuma ngenalin ama si ini si itu doang. Nah, waktu itu ketika gue ke Jakarta setelah dari Bali gue dikenalin nih sama satu orang.

Namanya Nina. Awalnya gue underestimate. Apaan nih orang? Tapi lama-lama gue tertarik juga. Dia dokter freshgraduate. Manis. Sementara alasan dia mau sama gue tentu selain gue nggak jelek-jelek amat, karena dia rasional aja, butuh duit buat melanjutkan studi spesialisnya. Kalau begitu kenapa gue mau? Ya udahlah...semua orang kan butuh duit, gue suka dia, lagipula kan ini untuk studi, bukan buat ke salon. Alasan utamanya sih karena gue mau dianggap normal aja. Cerita selengkapnya tentang dia dan pertemuan kami ntar menyusul sambil cerita deh...

Kami belum menetapkan tanggal pernikahan. Gue sih nggak mau buru-buru, kita kenal juga belum lama. Mungkin setahun lagi lah. Dia juga kayaknya setuju-setuju aja. Cuma masalah selalu ada di orang tua. Maunya cepet-cepet mulu. Gue sih bisa handle orang tua gue, cuma ada masalah dengan bokap nyokap mereka. Harus gue akui gue belum terlalu sering ketemu mereka. Orang tua gue yang lebih sering. Dari cerita yang gue denger dari Nina, sepertinya orang tuanya itu terus-menerus menanyakan rencana gue. Tepatnya kapan gue ngelamar dia. Terakhir Nina telepon nanyain gue kok nggak pulang-pulang, soalnya papa-mamanya pengen nanya langsung ke gua gitu.

“Ya udahlah, Nin. Kamu kan bisa jawab, kita nggak buru-buru, tapi rencana tetap pasti ada.”

“Aku udah ngomong, tapi mereka nggak sreg kalau nggak denger kamu sendiri yang ngomong ke mereka. Mereka belum yakin.”

Hhhh...okelah, akhirnya gue memutuskan untuk balik ke Indonesia sebentar. Gue atur schedule gue. Mungkin gue akan di sana selama dua minggu. Gue berangkat besok sore.

Keesokan harinya sebelum berangkat gue ada meeting terlebih dahulu. Nah di situ itu gue disamperin sama seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai konsul dagang Mesir. Dan dia sangat pengen gue bertemu dengannya empat mata untuk membahas kemungkinan investasi di Kairo. Wah, gue bilang, harus ditunda dulu, karena gue sudah akan terbang ke Jakarta, nanti sore....Dia kecewa, tapi bilang untuk segera menghubunginya begitu ada kesempatan. Gua okein aja.

Gue pulang, membawa koper yang udah gue persiapkan, dan berangkat menuju airport. Sore hari itu gue kembali ke tanah air...
***

Yang jemput gue, udah bisa gue tebak. Adik gue. Dia terlambat lama banget. HP-nya ga bisa dihubungi. Gue telpon rumah katanya dia udah berangkat. Nah, setelah hampir dua jam lebih menunggu, dia datang tergopoh-gopoh...

“Sori Bang, macet...banjir...”

“Ya udah. Kita jalan sekarang, bantuin bawa barang gue.”

Kami meninggalkan airport.

Di rumah gue disambut sama bokap-nyokap gue. Setelah ritual kasih oleh-oleh gue ngomong rencana gue di sini sebenarnya mau ngapain.

“Aku mau ketemu Papa-Mamanya Nina.”

“Kapan, Fer?”

“Belum tahu, lebih cepat lebih bagus...”

Malamnya gue telpon Nina. Ternyata di rumah cuma ada nyokapnya, sementara bokapnya sedang ada tugas di luar kota. Tiga hari lagi baru balik. Dan gue harus menunggu.

Akhirnya gue menghabiskan waktu dengan laptop gue. Online. Email. Semua berhubungan dengan pekerjaan yang harus diselesaikan. Gue tetep tidur larut walau berada di rumah sendiri.

Semua berjalan normal sampai suatu saat gue merasa ada yang asing di rumah ini. Bokap-nyokap gue tetep seperti itu adanya. Amat jarang di rumah. Tapi ada satu orang lagi yang beberapa kali memberikan kejanggalan di hati gue.
Adik gue. Satu-satunya adik gue. Si Rizki.

Gue baru nyadar udah jarang banget ngomong-ngomong sama dia sejak SMA (atau SMP), singkatnya sejak dia remaja. Seinget gue terakhir main sama dia ya waktu dia masih suka main gimbot or mobil-mobil RC itu. Setelah itu hampir tidak pernah kecuali basa-basi yang garing. Gimana dia sejak jadi ABG gue nggak tahu. Dan gue tentu sudah loss masa-masa itu karena adik gue sekarang sudah kuliah. Gue ngerasa nggak kenal ama adik gue sendiri.

Gue menghela nafas. Mungkin ini saatnya gue mencoba deket sama adik gue. Nggak asyik juga rasanya. Gue mencoba melihat dari sisinya, ditinggal ortu terus, sepi banget di rumah. Cuma ada pembantu yang selalu menghindar kalau diajak ngobrol, sungkan. Coba kalau gue nggak ada. Lebih kayak kuburan ni rumah.

Gue mulai berusaha makan bareng dia, nonton TV, dan tentu saja ngobrol-ngobrol. Dia anak teknik, jadi gue berusaha nyambungin omongan gue ama hal-hal yang berhubungan sama teknologi gitu. Gue adalah bisnismen yang jago mempersuasi klien, jadi jangan tanya gimana progress gue untuk lebih deket sama adik gue ini. Dua hari kemudian kita udah ngakak bareng nonton DVD. Gue masuk ke kamarnya, gue membayangkan isinya masih mobil-mobilan ketika ternyata dugaan gue langsung mentah melihat lemarinya penuh buku-buku tebal, poster band luar negeri menutupi tembok kamar, dan satu bass gitar tergeletak. Gue tanya, “Lho main bass ya?”. Dia mengangguk dan menunjukkan kebolehannya sedikit. Wew, gue memang melewatkan banyak hal.

Setelah tiga hari gue jalani dengan adik gue, gue menelepon Nina. Berita yang gue denger darinya kurang begitu bagus, karena kepulangan Papanya ditunda tiga hari lagi, yang berarti gue harus menunggu lebih lama. Gue menutup gagang telepon dan langsung menuju kamar, tidur. Tidak ada lembur malam ini. Laptop tetap tertutup rapat.

Esoknya saat sarapan gue melihat adik gue melintas. Gue menegurnya, “Oi, gak sarapan dulu lo?”

“Udah telat, Bang.” Dia ngacir keluar.

Bahkan gue yakin dia nggak mandi tadi. Rambut dan raut mukanya semrawut gitu.

Siangnya gue jalan-jalan ke mall bawa laptop. Ganti suasana. Gue beraktivitas di salah satu cafe di mall yang memang didesain khusus untuk orang-orang yang ingin bekerja dengan laptopnya. Seharian gue di sana.

Gue pulang ketika matahari udah tergelincir ke Barat. Di rumah gue melihat ada pembantu gue (yang ngurusin masakan), sudah menata meja. Gue tanya

“Bi, kan baru jam segini kok udah dihidangkan?”

“Iya, Mas Rizki minta disiapin sekarang, katanya mau makan sedikit.”

Tepat setelah itu gue melihat Rizki datang dari kamarnya dan langsung mengambil posisi di meja makan. Dandanannya rapi banget, gue melihat rambutnya dan mukanya bersih. Bajunya sih cuma kaos biasa doang.

“Mau ngapain lo?”

“Mo fitnes, Bang.”

“Buset ye, lo fitnes lebih ganteng daripada lo kuliah.”

Dia cuma nyengir ke gue, mengambil beberapa lauk, menyantapnya, dan kemudian pergi keluar rumah..

Gue bengong. Ah..nggak jelas, malemnya gue nelpon Nina lagi. Sempat ngobrol sama Mamanya. Mamanya seneng banget denger gue mau bertemu sama mereka. Dikira gue mau langsung ngelamar kali ya? Waduh...padahal kan gue cuma mau kasih keterangan doang...

Besoknya gue jalan sama Nina. Makan terus nonton. Yah biasalah orang pacaran..Kita jalan sampai jam tiga sore gitu. Waktu gue nganter dia ke rumahnya ada sms, dari adik gue.

“Bang, ada tawaran trial gratis di tempat aku fitnes nih, bisa dipake sminggu. Mo ikut ga?”

Gue bales, “Napa lo ajak gw?”

Gak lama kemudian ada pesen lagi, “ditawarinnya ke aku. Kan abang masih seminggu di sini kan?”

Si Nina nanyain “Ada apa, sih?”. Gue kasih tahu isi sms ke dia. Dia justru mendorong gue untuk ikut..

“Ya udah sana ikut. Kamu juga nggak pernah olahraga kan. Kerjaannya ngurusin bisniiiiiss mulu.”

Gue menyerah, oke..oke...Gua sms lagi adik gue, “Kapan mule?”

Jawabannya kemudian, “Nanti juga bisa.”

Sorenya gue ketemu adik gue di rumah, dia bilang siap-siapnya sekitar jam enam. Gue iyain aja. Pas jam segitunya gue udah siap pakai kaos oblong sama celana training. Seperti hari sebelumnya, adik gue dandan, wanginya tercium sejak dia masih di kamar dan gue di ruang tamu. Beberapa saat kemudian, kami berangkat naik mobil.

“Nggak macet ni Riz?” Gue inget Jakarta jam segini tu najis senajis-najisnya.

“Ga pa pa. Deket, kok.”

Beneran, kita kena macet, untung omongan adik gue juga nggak salah. Tempatnya lumayan deket sama rumah. Kami parkir di suatu bangunan di tengah-tengah pusat perbelanjaan. Kami masuk ke dalam naik tangga..
Gue rada nggak pede. “Riz, gue udah setua ini, nggak papa nih? Gue seumur-umur nggak pernah fitnes.”

“Ga papa. Ga keliatan ini. Tempatnya asyik, kok. Banyak artis lho yang fitnes di sini.

Gue teriak..”WHAT?!”

Dia kaget melihat reaksi gue. Biasanya gue selalu tenang tapi sekarang gue terkejut dan kelihatan sangat gelisah.

“Halah, Bang...nyantai aja lah...nggak usah keliatan banget gitu jarang lihat artisnya.”

Gue mendengus. Anak-anak tangga itu mendadak terasa begitu berat untuk gue langkahin...

Jarang ketemu artis kata lo?

Hmm...tau ape lu?

I’ve already raped four.
Kami telah sampai di lantai atas. Adik gue dengan santainya melintasi pintu masuk yang seluruhnya terdiri dari kaca tembus pandang. Gue cemas. Gue memperhatikan kondisi sekitar. Yah, loe pasti tahu apa yang gue risaukan.

Gimana kalau salah satu dari mereka bertiga atau dia yang gue temui di Bali dulu ada di sini sekarang?

“Ayolah, Bang. Masuk..” Adik gue berseru dari dalam.

Gue hati-hati melangkah masuk. Gue memeriksa siapa yang ada di dalam dengan teliti. Gue berjalan nggak jauh-jauh dari tepi ruangan, seperti mencari tempat bersembunyi jika saja gue kurang beruntung malam ini.

Hmmm...Nggak ada.....

Nggak ada.....

Setidaknya sekarang di ruangan yang ini mereka nggak ada.

Gue sedikit tenang..

Adik gue menghampiri gue ditemenin seorang cowok yang badannya keker abis. Gue dikenalin, ternyata dia instrukturnya. Gue dianter ke tempat penitipan barang gitu (loker-loker). Gue ketemu sama penjaganya. Gue memperhatikan cukup lama si penjaga penitipan ini. Orangnya kurus (sangat nggak matching sama fitnes center), rambutnya belah tengah (so oldies), dengan kemeja yang nggak disetrika. Si penjaga ini senyum-senyum aneh ke gua. Gue bengong.

Gue kok merasa agak aneh ya ada penitipan barang di fitnes center. Bukannya lebih mudah kalau disediakan loker aja terus kita masing-masing yang pegang kuncinya? Well, entahlah...

Abis itu gue diperkenalkan sama alat-alat. Terus disuruh pemanasan. Selanjutnya gue dituntun untuk latihan, dikasi tau urutan-urutannya. Gue ngerasa cengok banget..Ga papa lah. Pengalaman baru.

Tapi ya, kalau loe pertama kali fitnes maka loe akan merasa tubuh loe mau copot. Gile, itu otot gue rasanya ngilu semua. Gue kayak mau tepar. Adik gue ketawa-ketawa.

Penderitaan gue akhirnya berakhir. Sudah saatnya pulang. Gue mandi, balik ke penitipan barang. Ganti baju. Dan bergegas ke parkiran mobil. Ternyata adik gue belum ada. Ke mana dia?

Gue menunggu beberapa menit. Lah itu dia baru nongol dari atas. Tapi dia ternyata nggak sendirian.

Dia jalan sama cewek.

Gue nggak kenal itu siapa. Tapi dia manis. Gue menebak dia seumuran sama adik gue atau bahkan lebih muda. Mengenakan shirt dan jeans seperti layaknya remaja perempuan pada umumnya di Jakarta gue bisa menilai tubuh cewek ini cukup berisi....cukup montok...


Mereka berpisah sebelum bertemu gue. Gue sedikit kecewa. Gue penasaran aja sama dia. Adik gue datang menghampiri. Dan kami meluncur pulang ke rumah.

Di tengah perjalanan iseng aja gua nanya, “Siapa tuh tadi cewek?”

“Masa ga kenal, Bang? Nagita Slavina. Terkenal tuh, Bang.”

“O ya? Sinetron?” Gue menebak.

“Nyanyi juga sekarang.” Adik gue menjelaskan.

“Terus hubungan dia ama lo apaan?”

“Ah, Abang mo tau aja.” Dia senyum-senyum gak jelas.

“Jadi dia alasan kenapa loe jadi centil kalau fitnes padahal dekil kalau berangkat kuliah.”

Adik gue ga jawab, senyumnya makin lebar.

“Udah lo pacarin?”

Adik gue menggeleng.

“Kenapa?”

Dia jawab “Malu, Bang.”

Gue ngeplak dahi.
***

Besoknya gue meringis-meringis ngilu. Gara-gara nggak pernah olahraga, sepertinya seluruh otot di badan gue pada memberontak. Sakit. Gue nitip absen fitnes dulu sama adik gue. Si Nina datang ke rumah. Nemenin gue. Semaleman gue tepar.

Hari berikutnya badan gue mendingan. Adik gue meyakinkan bahwa fitnes lagi bisa memperkuat otot gue sehingga nggak lembek kalau dipakai kerja keras. Gue kepengaruh dan ikut dia lagi malamnya. Beneran juga, badan gue jadi lumayan enak waktu work out.

Malam itu lah gue baru nyadar omongan adik gue bahwa memang banyak artis yang fitnes di sini. Gue mendapati beberapa yang gue kenal, dan beberapa yang gue nggak kenal tapi gue yakin dia terkenal karena tampanganya kamera face banget.

Satu orang paling menarik perhatian gue. Cewek yang digebet sama adik gue sendiri. Kebetulan waktu gue lagi tread mill, dia ada di sebelah gue memainkan alat yang sama. Gue sok-sok nggak perhatiin dia. Padahal diem-diem gue ngelirik. Kaus abu-abunya ada bercak gelap basah terkena keringat. Gue memberanikan diri untuk lebih lama menatap wajahnya. Manis...peluh meluncur melintasi pipinya menuju dagunya. Ada tahi lalat kecil di deket dagunya. Kemudian gue menatap lehernya pun basah. Satu butir keringat menetes masuk ke bawah, masuk ke baju. Pandangan gue tertuju pada apa yang menonjol di kaus itu. Payudaranya luar biasa... Kedua tangan gue meremas pegangan treadmill lebih kencang. Ah seandainya gue bisa meremas yang itu..Ahhh...

Dia menoleh ke arah gue. Gue salah tingkah dan pura-pura menunduk...Hening...

Gue capek, ngasih kode ke adik gue kalau gue pengen pulang. Adik gue ngangguk. Gue mandi dan pergi ke penitipan. Di sana gue menemukan adik gue sedang bersama cewek yang membuat gue sedikit bangkit nafsu waktu treadmill tadi..

Adik gue ngelihat gue datang...langsung ngenalin gue ke dia...

“Gi..ini Abang gue, namanya Feri.”

Dia senyum menyalami gue, tangan lembut itu menyentuh telapak tangan gue..


"Gigi.." katanya lembut..

“Gigi?” Tanya gue sambil senyum lebar menunjukkan gigi-gigi gue.

Adik gue ketawa nggak ikhlas, “Abang gue garing, Gi.”

Hmmm, thanks...

Mereka turun duluan soalnya sudah mengambil titipan lebih dulu. Gue masih membereskan tas gue. Si penjaga penitipan tiba-tiba berbisik ke gue...

“Montok tenan yo Mas?”

Gue bingung, “Siapa?”

“Yo yang tadi itu..”

Gue pasang senyum sopan, menyingkir..

Selanjutnya gue kembali bersama adik gue menyusuri jalan Jakarta pulang ke rumah..

Gue membuka obrolan...”Yang njaga penitipan tadi orangnya serem banget yak?”

Adik gue jawab, “Wah dia udah kasus dari dulu, Bang. Orangnya gatel gitu kan? Dia dulu pernah ketahuan ngintipin cewek-cewek yang fitnes di situ. Si Gigi juga pernah hampir aja diintipin. Abang lihat aja dia kalo ngeliat si Gigi gimana. Norak banget. Jelalatan. Mupeng-mupeng ga jelas. Kayak mau nerkam gitu.”

“Parah juga tuh.” Gue berkomentar.

“Udah komplain sih kita ke bosnya. Gue denger dia cuma dipertahankan sampai bulan ini aja.”

“Hmmm....Ati-ati aja sih. Orang maniak seperti itu memang bisa ngapain aja kalau ada kesempatan. Gue juga kenal satu orang” Gue bergumam.

“Siapa? Abang, ya?” Adik gue tertawa.

Gue juga ketawa.

Emang iya. Gue.
Pagi hari berikutnya, gue melakukan rutinitas seperti biasa. Sekarang kalau matahari mulai terbenam, ada aktivitas yang gue tunggu. Fitnes! Setidaknya itu dalam pikiran gue. Tapi sore ini ternyata gue mendapati adik gue malah duduk selonjoran di ruang tengah nonton TV.

“Lhah, nggak fitnes?”

“Nggak ah, Bang kalo hari ini. Abang aja kalo mau sendiri.”

Gue heran, “Ada apa dengan hari ini?”

“Kalo hari ini si Gigi nggak fitnes, dia ada kuliah malam.”

“Hmmm.....” gue menggeram datar.

“Jadi, lo fitnes cuma gara-gara dia doang?”

“Ya nggak lah, Bang. Cuma kan yah kayak Abang nggak tau aja sih. Pokoknya nggak semangat.”

Gue merebahkan diri gue di sofa, duduk di sebelahnya.

Gue menghela nafas,..”hhh... cakep ya dia..”

Adik gue ngeliatin gue, “Iya, udah gitu pinter lagi..”

“Pinter?”

“Iya, Bang.”

Dan lo tau, setelah itu adik gue nyerocos panjaaaaaaang banget soal gebetannya ini. Lengkap bo’. Dari sinetron yang ia mainin, sekarang kuliah di mana (satu universitas sama adik gue), dan pertemuan tidak sengaja mereka di fitnes center. Jadi menurut cerita adik gue, keikutsertaan Gigi di fitnes awalnya cuma iseng. Eh, akhirnya keterusan. Adik gue cerita gimana dia bisa melihat perubahan drastis dari Gigi yang dulu sedikit gendut sekarang menjadi lebih langsing, berisi.

Gue ngebayangin yang nggak-nggak. Ya, tubuhnya yang sekarang memang terbentuk indah. Tidak kurus, namun berisi. Montok. Implikasi yang paling terlihat tentu adalah ...susunya, yang selalu mengencerkan imajinasi kotor gue tatkala berpapasan dengannya di fitnes center.

Malamnya gue sibuk dengan laptop gue di ruang tengah. Sekalian nemenin adik gue nonton MTV. Malam semakin larut. Adik gue ngantuk, pamit tidur. Dia masuk kamar. Gue memandang arah kamarnya. Gue teringat sesuatu. Gue buka browser internet, buka search engine, dan mengetikkan satu nama:

Nagita Slavina...

enter....

ada beberapa entry yang muncul...
***

Hari berikutnya giliran adik gue yang bersemangat ngajakin fitnes. Ini gue artikan si Gigi juga fitnes malem ini. Gue ikut. Kami kembali meluncur.

Di fitnes center segalanya berjalan wajar. Gue menjalani latihan seperti sebelumnya. Sesekali gue melongok sekitar, mencari Gigi. Kok nggak ada ya?
Oh itu dia, di seberang sana. Pas sekali sudut pemandangannya, pikir gue. Latihan gue menjadi semakin menyenangkan...

Gue mendapatkan banyak informasi tentang dia tadi malam di internet. Dia akting, dia menyanyi, dia juga sesekali menjadi co-producer, hal yang paling diinget darinya adalah imej kekanak-kanakan atau lemot, yang kabarnya memang tidak berbeda jauh denghan watak aslinya. Gue bisa merasakan itu sih, walau gue nggak pernah ngobrol langsung sama dia. Gue memperhatikan itu saat dia ngobrol sama temen-temennya atau sama adik gue. Kadang-kadang memang ia terlihat childish. Itu juga ditunjang dengan tampangnya yang imut..


Gue mulai merasakan sesuatu yang aneh...

Sepertinya gue bernafsu...

Ah, tapi gue sudah cek di internet kemarin malam...dia bukanlah korban yang layak buat gue. Gue tidak menemukan track record yang buruk. Dia gadis baik-baik...Lagipula adik gue sayang sama dia..Jadi...ahh...sudahlah, gue lupain aja..

Gue mengenyahkan pikiran-pikiran jahat gue ke dia..

Gue nggak boleh melakukan kesenangan gue itu terhadapnya.
Begitulah...

Selesai latihan, bersiap-siap pulang. Gue turun ke bawah, ke parkiran mobil. Surprise buat gue: sudah ada adik gue menunggu di sana! Wei, tumben! Biasanya kan gue yang harus nungguin dia. Dia masuk ke mobil, gue menyusul.

Di dalem mobil baru gue menyadari ada yang nggak beres sama adik gue. Wajahnya ditekuk, masam. Sama sekali nggak bersahabat.

“Kenapa lo?” gue tanya. Dia diem.

Kebingungan gue nggak bertahan lama, karena tepat di depan mobil kami lewat si Gigi..

.......dengan cowok lain...

Gue perhatiin tampang cowoknya. Dia tinggi.. Cukup good-looking. Dan sepertinya anak orang berada. Well, gue beasumsi sepert itu saat si cowok memencet alarm mobil, dan sebuah Benz menyalak di seberang mobil kami. Si cowok membukakan pintu untuk Gigi, dan cewek itu melenggang duduk manis di kursi depan samping sopir, tepat menghadap kami. Si cowok masuk dalam bangku sopir. Menatap kami....

Menatap Rizki, adik gue...

Lampu sedan itu menyala, suara mesin menderu, ban bergulir bergesekan dengan aspal. Mobil itu meninggalkan pelataran parkiran.

Gue nelen ludah, menoleh ke arah Rizki.

“Riz, gue aja yang nyetir ya?”
***

Keesokan harinya.......

Pagi-pagi gue jogging keliling kompleks rumah. Udah begaya aja gua, mentang-mentang ikut fitnes gue jadi gila olahraga. Pagi itu juga si Nina nelpon dan dia nggak percaya aja kalau gue beneran jogging. Sampai-sampai gue sodorin HP gue ke penjual bubur di pinggir jalan.

“Iye, Non. Ini Abangnye lagi lari pagi.”

Terdengar suara ngakak Nina di seberang telpon.

Adik gue nggak keluar kamar sejak tadi malem. Sebabnya sudah jelas bo’. Deeply broken heart. Hmmm...gue nggak tahu harus ngomong apa. Soalnya lo udah tahu kan apa prinsip gue soal “cinta”. Heh? Sangat nonsense. Gombal. Pengennya sih kemaren malem gue langsung ngomong aja sama Rizki, ‘Oke Riz, dia udah ngancurin hati lo..pedih..perih..Jadi yang harus lo lakukan sekarang adalah satronin rumahnya, congkel jendela, masuk ke kamarnya, dan perkosa dia di rumahnya sendiri....Perlu bantuan gua nggak?’

Tapi....gue belum terlalu gendheng untuk ngomong frontal kayak gitu...

Jam sepuluh pagi, di rumah..Si Bibi’, pembantu gue ngeluh ke gue...”Mas, Mas Rizki belum sarapan. Bibi’ ketok-ketok, panggil-panggil, tapi dia nggak mau keluar kamar.”

“Oh..” jawab gue. Gua bergegas ke kamarnya. Ketok-ketok pintu..Bingung juga gue. Gimana cara menghadapi cowok di saat-saat cengengnya?

Tok..tok..tok..”Riz.Oi..makan dulu lo.”

“Ntar aja, Bang.”

Gue bujuk dia lagi, sampai akhirnya gue capek. Gue diem mematung di depan kamarnya. Tiba-tiba aja ada kalimat spontan terlempar dari mulut gua, “Lo belum hidup kalau belum ngerasain sadisnya kenyataan, Riz.”

Gue mendengar suara kursi berderit di dalam kamar. Gue melanjutkan, “Itu juga yang membuat gue sampai sekarang survive, tetap hidup.”

Telepon genggam gue tiba-tiba berdering. Gue melihat nomernya bukan nomer Indonesia. Gue mengangkatnya, “Halo...”

Telepon dari staf gue di Dubai. Ada masalah yang nggak terduga. Lumayan gawat. Orang-orang gue kebingungan di sana. Pertama masalahnya dengan otoritas setempat yang seenaknya naikin pajak. Kedua ada problem sama beberapa developer yang protes proyek yang sedang kita kerjakan menghalangi akses transportasi mereka..Gue langsung pening. Kesimpulannya cuma satu: Gue harus segera balik ke sana...

Gue udah lupa sama perkaranya adik gue...Gue langsung nelepon Nina. Ngasih tahu kalau bisa secepatnya gue harus balik ke Dubai. Nina bilang kebetulan Papanya Nina sudah akan balik hari ini. Jadi kita akhirnya menjadwalkan ketemuan langsung malam ini di salah satu restoran yang buka sampai pagi. Papanya baru pulang menjelang tengah malam, dan dia tidak keberatan kami ketemu malam-malam memaklumi kondisi gue yang sibuk. Gue menyetujui. Setelah itu gue menelepon orang gue untuk mengurus keberangkatan gue lagi ke Dubai, besok..

Gue merebahkan diri gue ke sofa di ruang tengah. Yah, apa boleh buat, ini konsekuensi dari ambisi.

Perhatian gue terpecah ketika pintu kamar adik gue terbuka. Dia keluar berjalan menuju dapur. Dia menghindari bertatap mata dengan gue..

HP gue berdering lagi, kabar dari orang gue, katanya tiketnya sudah didapatkan. Gue berjalan ke kamar, membereskan barang bawaan gue. Gue menelepon bokap-nyokap yang hampir nggak pernah gue temuin selama di sini, dan mengabarkan kondisi gue. Mereka terdengar kecewa.

Selesai gue selonjoran lagi di ruang tengah. Sudah sore banget, sebentar lagi gelap. Ketemu sama Nina dan keluarganya masih lama. Gue melihat ke arah kamarnya Rizki. Biasanya gue jam-jam segini siap-siap fitnes sama dia. Tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan di kamarnya. Ia mengurung diri lagi sejak keluar sebentar tadi siang.

Gue berpikir....Hei..sebelum ketemu Nina dan papa-mamanya, dan sebelum gue kembali berjibaku dengan jerat problem yang menanti gue di Dubai, kenapa gua nggak fitnes aja? Terus terang gue mulai menikmati aktivitas ini. Gue beranjak dari sofa..ganti baju...oke...saatnya membangun gaya hidup sehat..hehe..

Tak lama kemudian gue sudah di belakang kemudi. Sialnya gue nggak apal jalan, jadi gue nyasar. Gue sampai itu tau-tau di seberang jalan fitnes centernya, dan nggak ada puteran. Gue bingung gimana caranya muter, akhirnya gue parkir aja di hotel di seberangnya. Terus gue jalan kaki nyeberang...

Gue bawa tas ransel agak gedhe sekarang. Soalnya gue juga bawa kemeja dan celana rapi, kan nanti mau ketemu sama papa-mamanya Nina.
Sampai di tempat fitnes gue menjalankan latihan seperti biasa. Waktu di treadmill, kembali cewek manis itu berada di samping gue. Dia masih mengenali gue..

“Hai, Rizki mana?”

Gue jawab ngasal, “Sakit.”

“Oh..”

Gara-gara lo..

Dia meninggalkan gue. Gue pun melanjutkan ke alat yang lain. Di sela latihan, gue kebelet, mampir ke toilet. Cukup bersih juga toiletnya. Cuma yang gebleg, waktu gue mau keluar, ternyata susah buka pintunya...Instruktur gue yang keker, yang gue ceritain dulu, membantu ngebukain pintu dari luar. Dia bilang, “Pintunya agak susah kalau dibuka dari dalam.”

Serem amat, pikir gue...

Malam itu gue bertahan di sana lebih lama. Pengen lebih lama aja malem terakhir. Ketika orang-orang mulai pulang, gue pun akhirnya beres-beres. Gue ganti baju rapi. Masih agak lama sih ketemuan sama Nina dan ortunya. Tapi sekalian aja. Malem ini jalanan macetnya lebih menggila, takutnya kalau pulang dulu nggak keburu. Mungkin gue samperin aja rumahnya Nina.

Gue berjalan keluar fitnes center, kembali menyeberang jalan menuju hotel tempat gue parkir mobil tadi. Sesampainya di mobil gue nyadar sesuatu yang buruk. Yah, kunci mobilnya ilang! Gue kebingungan. Rogoh-rogoh kantong, bongkar tas ransel. Gue inget tadi berangkatnya pakai celana training, tapi di saku celana training itu juga nggak ada. Gue coba inget-inget di fitnes center tadi. Kapan gue ngelepas celana ya?

Oh, ya...gue tadi sempat ke toilet. Gue berjalan cepat kembali menyeberangi jalan. Kembali ke fitnes center. Aduh, mampus aja gua kalau fitnes centernya sudah tutup.

Eh, ternyata belum...tapi ada yang aneh..Kosong..nggak ada orang. Tapi juga nggak tutup. Perasaan gue nggak enak. Gue masuk ke toiletnya. Harus cepet ketemu kuncinya biar gue bisa cepet pergi dari sini.

Gue periksa di toilet. Harapan gue mulai menipis ketika bermenit-menit gue nggak juga menemukannya. Kemudian...ah...itu dia...nyempil di pojokan...

Untunglah....

Gue meraihnya, dan berlari ke arah pintu toilet.

Gue putar kenopnya....

Clk...clk...clk...

Nggak bisa kebuka....

Gue kekunci...

Gue panik, menarik paksa pintu itu, tapi sia-sia.. Gue gedor-gedor pintunya. Masih ada orangkah di luar sana..?

Tiba-tiba gue mendengar sesuatu yang sangat mengejutkan gue. Bulu kuduk gue berdiri...

Teriakan wanita...

Minta tolong...

Malem-malem gini?

Gue mencoba mencermati suara itu...semakin dekat....Suara itu mendekati ruangan fitnes di sebelah toilet ini..Gue memeriksa sekeliling, di toilet ini ada jendela-jendela ventilasi yang diletakkan di atas berhubungan langsung dengan ruangan di luarnya. Jendela itu dilapisi oleh kain kassa. Sementara satu meter dari gue ada teronggok kursi dari plastik. Gue ambil kursi itu dan gue taro bersandar pada tembok di bawah jendela ventilasi. Gue lalu naik di atasnya. Sekarang gue bisa melihat apa yang sedang terjadi di ruang sebelah.

Dua sosok manusia masuk ke dalam ruangan fitnes itu.

Gue terperangah...Itu si penjaga penitipan barang. Pria kurus yang gue notice sebagai orang aneh sedari awal pertemuan gue dengannya. Dan dia tidak sendiri. Ia sedang menyeret seorang cewek dengan paksa. Gue lebih kaget lagi saat mengenali wajah manis itu sebagai si Gigi, Nagita Slavina..

“Tooloooong....tolooooooong... ”

“Diem kamu! Mau ta’bunuh sekarang?! Diem!” Pria kurus itu menghunuskan pisau dapur yang tadi diselipkan di sabuknya...

No fucking way!

Pria kurus itu mengeluarkan tali tambang. Merebut kendali atas tangan Gigi, menyimpul pergelangan tangannya dan mengaitkan simpul itu ke pipa besi tempat biasanya orang melatih otot siku dan lengan. Dengan cekatan pria itu mengulanginya pada tangan yang satu lagi. Gue takjub dengan kecekatan tangannya. Gimana bisa secepat itu? Gue perhatikan dengan seksama dan mengetahui bahwa simpul itu sudah dibikin dulu sebelumnya. Ia pasti sudah merencanakan aksi ini masak-masak.

“Tolooooonggg...” Gigi berteriak. Gue memandang ke arah pintu keluar. Tidak adakah yang mendengar suaranya? Apa di bawah sana tidak ada orang sama sekali? Gue inget waktu ngambil barang di penitipan tadi, si pria kurus ini tidak ada di sana. Apa waktu itu ia sedang sibuk merencanakan ini? That bastard..

“Diem!” Pria itu membentak, mengeluarkan lagi seutas tali cukup panjang, membaginya dua, itu dipakai untuk menjerat kaki artis remaja itu ke tiang-tiang penyangga pipa-besi tadi. Ah, sudah...habislah sudah...Dia sudah berhasil mengakhiri perlawanan mangsanya...

Setelah itu si pria kurus penjaga penitipan tertawa, “Hehehe, diem kamu. Malem ini kamu cuantik banget.” Tangannya yang ceking dengan kurang ajar membelai pipi Gigi. Gigi memandangnya penuh rasa jijik.

“Kamu mau ya kimpoi sama Mas?”

Gigi menggeleng keras.

“Kalau nggak mau yo nggak papa. Mas cuma pengen pinjem tubuhmu buat Mas nikmatin malem ini..”

“Jangaann!!!....Tolooooooong!! ”

Jari-jari pria itu mulai menggerayangi tubuh Gigi.

“Tolooooong!!”

Gue mendengar Gigi memanggil nama seorang cowok di sela jeritan minta tolongnya. Pria kurus itu pun mendengarnya.
“Hehe, percuma kamu panggil-panggil. Pacarmu udah ta’ringkus tadi.”

Gue memandang ke arah turunan tangga. Membayangkan nasib cowok yang dimaskud. Shit! Pria ini nekad banget ya?

Gue kembali melihat ke arah mereka berdua. Si pria mendekap Gigi dan meremas-remas tubuhnya gemas. “Duh, udah lama banget aku pengen tahu gimana rasanya ngenthu kamu. Pasti uenak. Montok gini..” Tangannya sudah mendarat di buah dada Gigi. Meremasnya dengan penuh nafsu. Gigi menjerit. Gue tanpa sadar mengepalkan tangan..Itu dada yang juga ingin gue rasakan kenyalnya dengan tangan ini..Telapak tangan gue berkeringat..

Adegan berikutnya yang dilakukan pria itu cukup bikin gue shock. Pisau yang digenggamnya melayang ke sana kemari mencabik-cabik pakaian yang melekat di tubuh Gigi. Gerakannya membabi-buta, gue ngilu membayangkan bisa saja benda tajam itu meleset dan melukai Gigi..

Gue mungkin harus meralat asumsi gue tadi. Gue sekarang nggak beranggapan pria itu berpikir dengan matang. Bahkan bisa jadi dia idiot. Dia hampir tidak bermodal apa-apa. Dia sudah menyerang saksi di bawah sana. Dia tidak menutupi identitasnya. Dia juga sudah merobek-robek baju korban. Di tempat umum! Dia sama sekali nggak melakukan apapun untuk menutupi perbuatannya. Maksud gue, siapapun yang datang ke sini setelah kejadian, pasti 100% langsung sadar telah terjadi tindak perkosaan.

Oh, this guy is sick!

Ketika Gigi sudah setengah bugil, hanya berbalut beha dan CD, pria itu tidak berhenti. Ia menarik paksa beha itu hingga tampaklah sesuatu yang membuat air liur gue mengumpul banyak di mulut. Akhirnya gue bisa melihat langsung dadanya yang montok kencang, yang membuat gue penasaran sejak pertama kali berjumpa dengannya...

“Wiiihh...ini baru maknyus.” Pria itu tertawa meremas-remas payudara Gigi. Cewek itu meronta, susunya bergoyang-goyang..Tanpa sadar tangan kanan gue memegangi selangkangan gue sendiri. Gue yang mengintipnya pun ikut terangsang. Gue melihat jari-jari kurus milik si penjaga penitipan tidak bosan-bosannya merempon gunung kembar yang luar biasa itu...Terus menyedotnya, penuh nafsu...

“Akhirnya aku bisa megang beneran susumu. Dari pertama kamu dateng ke sini, aku udah ngiler liat punyamu ini..Kamu makannya apa tho?” Pria itu belum bosan terus menyantap payudara Gigi.

“Tolooong...tolooonggg..” Gigi terisak.

Sekarang gue melihat tangan pria itu semakin berani menjelajahi bagian tubuh Gigi yang lain...

“Bodimu muantep tenan..wiih...” Pria itu menjilat bibirnya sendiri. Tubuh yang sedang digerayanginya memang menggiurkan. Seksi berisi, dibalut kulit putih mulus yang dengan mudah membangkitkan birahi lelaki.

Puas menjamah tubuh bagian atas, tangan lelaki itu mulai menyusuri ke bawah. Ke pahanya...kemudian tangannya disusupkan ke CD yang masih melekat di selangkangan Gigi..

“Ah, jembutmu gembel juga...Sini biar ta’liat sendiri.” Pria itu dengan brutal merobak celana dalam Gigi.

“Hmm...gembel..” pria itu berkomentar.

Ia lalu memreteli bajunya sendiri. Badannya kering kerontang. Lalu ia melepas celana dan sempaknya. Gue melihat pemandangan jijik, penis pria itu kecil tapi tegak ke atas..

Pria itu kemudian menciumi hutan kemaluan Gigi. Mulut dan hidungnya beradu dengan rambut-rambut di selangkangan cewek itu.. Lalu tangan pria itu ikut menyusuri, mencari liang kewanitaannya. Ketemu.

“Sempit pol!! Belum pernah dikenthu ya kamu..” Pria itu tertawa mengejek.

“To...tolong...

Selanjutnya pria itu berlutut melahap kemaluan Gigi dengan mulutnya, mungkin lidahnya ikut bekerja, gue nggak bisa lihat pasti. Yang jelas pria itu sedang mengalirkan arus-arus rangsangan luar biasa hebat yang terbaca jelas pada reaksi Gigi.

“Toloong....auh....ehh...”

Gue bisa mendengar suara mulut menyedot, dan diiringi oleh bunyi lidah yang sedang membentur lorong-lorong di vagina cewek malang itu. Pria itu sangat rakus...

Cukup lama pria itu mengerjai memek Gigi dengan oralnya. Ia berhenti ketika melihat lendir membajiri liang vagina Gigi...Ia mengambil cairan itu dan berdiri, mengoleskannya pada alat vitalnya sendiri...

Gigi menangis sejadi-jadinya. Wajahnya mewek. Melihat ini pria itu kurang senang,

"Jangan nangis! Jelek!"

Gigi tetep mengucurkan air mata sampai kelopak matanya mulai membengkak.

Pria itu kesal, mengguncang-ngguncangkan kepala Gigi. Kemudian dia seperti mencari-cari sesuatu dari sisa-sisa pakaian Gigi yang terkoyak-koyak di lantai. Dia mengambil satu potong yang lumayan panjang. Kemudian mengikat kain itu di kepala Gigi, menutup matanya...

"Aku nggak suka liat cewek nangis. Mending matamu ta'tutup aja. Yang penting lubang yang ini masih kebuka, hehe." Pria itu tertawa memasukkan jarinya ke vagina Gigi...

"Aaaaa..."

“Aku dah lama nunggu-nunggu hari ini. Sejak kamu dateng ke sini. Kamu wis bikin aku ngaceng. Salahmu dhewe punya bodi bikin lanang ngaceng. Aku baru dipecat bos. Sekarang aku wis gak peduli opo-opo.”

Pria itu membuka paha Gigi, menahannya terus terbuka, lalu memegang penisnya sendiri, menuju liang senggama Gigi..

Kepala kontolnya bergesekan dengan jembut Gigi sebelum akhirnya bertemu dengan bibir vaginanya.

Jantung gue berdetak kencang...Inilah saatnya...

Hape gue mendadak bergetar mengejutkan gue. Tadi gue silent karena memang gitu aturannya di fitnes center ini. Celakanya HP gue itu posisinya di saku sedang menempel tembok, sehingga getarannya yang membentur dinding menimbulkan bunyi. Anjing!.

Gue melompat dari kursi. Gue yakin si penjaga penitipan itu mendengarnya, dan sedang menuju ke sini, memeriksa. Gue inget dia bersenjata. Mampuslah gua. Pintu itu bisa dibuka dengan mudah dari luar.

Gue panik, ada psikopat yang beberapa saat lagi akan menemukan dan membunuh gue. Gue memandang sekeliling dalam kepanikan luar biasa. Saat itulah gue menemukan barbel berukuran tidak terlalu besar tergeletak di lantai toilet. Seseorang meninggalkannya di sini. Gue ambil. Mungkin gue masih ada kesempatan untuk selamat. Gue bersembunyi di sudut pintu.

Gue bisa merasakan penjaga penitipan itu sekarang tepat berada di depan pintu. Kenop berputar pintu terdorong masuk. Langkah kaki pria itu masuk ke dalam toilet. Ia memeriksa tempat yang menimbulkan suara tadi, tempat di mana ia menemukan kursi nangkring di bawah ventilasi. Gue mendapat kesempatan. Gue mengendap mendekatinya dan langsung memukulkan barbel tadi ke tengkuknya.

Buuuggg!!

Hanya dengan satu hantaman ia terkapar.

Gue harus berterima kasih pada Chelsea Olivia yang mengajari gua trik ini. Bedanya tentu pukulan gue lebih bertenaga, dan pria yang gue gebuk ini sebaliknya, ceking. Gue yakin dia membutuhkan waktu nggak sebentar untuk mendapatkan kembali kesadarannya.

Gue keluar toilet.

Gue menghampiri Gigi, memeriksa simpul yang mengikat pergelangan tangannya dengan pipa besi. Simpulnya sulit diurai. Gue beralih ke yang mengikat kakinya. Di situ ikatannya tidak begitu kuat, gue bisa melepasnya. Kelar melepas tali di kaki kiri, gue melakukan hal yang sama dengan ikatan di kaki kanannya. Kakinya langsung menyerang gua. Dia mengira gue adalah orang yang sama dengan yang hendak memperkosanya tadi. Matanya masih tertutup kain bajunya tadi.

Gue mundur menghindar. Gue mengambil HP gue, berniat untuk menelepon polisi. Gue melihat ada missed call dari Nina. Pasti itu yang membuat HP gue bergetar tadi. Saat sedang memencet tombol untuk memanggil nomor darurat, gue melihat tubuh Gigi yang tak tertutupi satu benang pun. Gue merasa harus menutupinya dulu. HP gue taro dulu. Gue mencari apa yang bisa dipakai untuk menutup, karena nggak menemukan apapun, gue memutuskan untuk membuka kemeja gue. Lagipula gue memakai kaus tambahan di dalamnya, jadi nggak masalah. Gue buka kancing baju gue, terus gue lepas, dan hendak gue taruh menutupi tubuhnya..

Saat hendak menyelimuti itu tangan gue tanpa sengaja menyentuh kulitnya yang mulus. Dia mendesah...”aaahhh....” Darah gue berdesir. Gerakan gue berhenti...Gue menarik kembali kemeja gue, menatap Gigi...Telanjang. Tangannya masih terikat...

Gue melongok ke arah toilet, gue hanya melihat sebagian dari kaki si pria penjaga penitipan. Dia masih pingsan terkena pukulan tadi. Gue kembali melihat Gigi.

Gue menelan ludah. Gue merasakan sesuatu menjalar dalam diri gue. ‘Burung’ gue di bawah mengeras.. Testoteron bekerja hebat. Dada gue berdegup beberapa kali lipat lebih kencang dari normal...

Kemeja gue jatuh dari genggaman. Bukannya lantas mengambilnya kembali, kedua tangan gue justru membuka kaos yang masih gue kenakan...

Dan mulai melucuti celana gue sendiri...

Pada malam saat gue dan Rizki memergoki Gigi dijemput seorang cowok. Gue inget gimana dalam perjalanan pulang itu kami nggak saling bercakap-cakap...

Dia menolak ketus waktu gue nawarin gantiin dia nyetir. Gue diem aja. Waktu dia hampir menerobos lampu merah dan kemudian mengerem mendadak membanting badan gue ke depan, gue juga diem aja. Gue perhatiin tampangnya...Kacau...

Gue diem, berharap semoga kami bisa sampai di rumah utuh.

Apa kejadian di parkiran sebelumnya sebegitunya meluluhlantakkannya? Waktu itu gue heran aja, mikir..hei, Coy! Udah berapa kali lo naksir cewek dan bertepuk sebelah tangan?...

Atau jangan-jangan memang baru sekali ini lo jatuh cinta?

Apakah cewek yang satu ini begitu spesial di hati elu?
***

Fitnes center, saat di mana tempat itu seharusnya sudah tutup....

Gadis itu bergidik ngeri ketika sepasang tangan merengkuh lengannya. Matanya masih tertutup. Sadarkah dia kalau tangan yang menggerayanginya kini lebih kekar dari yang tadi. Tahukah dia kalau ancaman baginya bukan lagi pria kerontang penjaga penitipan? Tapi gue...Feri alias Dodot, yang sudah pernah empat kali melakukan ini.

Nagita Slavina terpampang di dalam jangkauan gue, tanpa busana...
Maka mendaratlah gue di tempat yang gue idam-idamkan. Dadanya jauh lebih mengesankan daripada yang gua bayangkan. Menonjol begitu kencang. Meremponnya mencuatkan berjuta-juta kenikmatan. Gue melumat susunya...Sscpp..saahh...”

Menggemaskan..

Dukkk!!

“Hhkkk...” Saking terpananya gue dengan keindahan payudaranya. Gue lupa kalau kaki Gigi masih leluasa. Ketika dia memberontak, lututnya menubruk perut gue. Gue langsung mules...

Gue terduduk mundur menjauh, kesakitan...

Gigi berteriak lagi, “Tolooooooongg!!!”

Gue meringis kesakitan. Untuk beberapa saat gue menenangkan sakit gue dulu..

Ketika sakit di perut gue mereda gue kembali mendekatinya. Gue berpikir sejenak sebelum akhirnya gue berputar dan berdiri di belakang Gigi. Dengan begini gue bisa bebas menyetubuhinya karena kakinya nggak bisa menjangkau gue. Gue merangkulnya dari belakang. Kontol gue bersinggungan dengan belahan pantatnya...

Dalam posisi seperti itu gue mencumbunya garang. Tangan gue mulai bekerja menjamah setiap lekuk tubuhnya. Gue menciumi tengkuknya, kemudian ke pipi. Gigi menggelinjang. Susunya bergoyang-goyang. Gue menangkap ini isyarat Gigi bangkit gairahnya dengan rangsangan yang gue berikan..

Hmmm...

Gue nggak bisa melihat kemaluannya, jadi gue coba gerayangin dengan tangan gue. Bener apa yang gue lihat waktu mengintip tadi. Pria penjaga penitipan sudah sempurna merangsangnya saat mencumbu Gigi. Lendir membasahi jari gue yang menyentuh bibir vaginanya. Gadis molek ini sudah siap untuk dicoblos..

Gue nggak mau buang waktu lagi..

Penis gue tegak ke atas. Posisi gue yang dibelakang tubuhnya kurang menguntungkan untuk bersenggama. Gue harus mengeluarkan tenaga ekstra. Gue merengkuh bagian bawah pahanya. Gerakan refleknya memberontak membuka paha justru membantu gue untuk mengangkat pinggulnya.

Badannya terangkat sedikit, pas bagi gue untuk bisa mencoblosnya dengan enak.

Perlu dicatat bahwa badannya yang montok berisi itu membuat ini benar-benar menjadi fitnes!!

Gue arahkan penis tegak gue mencari lubang vaginanya. Ketika ketemu dan coba gue lesakkan ternyata terus-terusan meleset. Kontol gue terpental keluar. Lubangnya terlalu sempit. Susah memerawani perempuan dengan posisi seperti ini.

Gue nggak hilang akal. Kedua tangan gue berpindah dari tadinya menyangga paha Gigi bagian bawah sekarang mengangkat dengan merengkuh paha bagian atas. Dengan posisi tangan seperti ini jari-jari gue dekat dengan memeknya. Telunjuk gue bekerja melebarkan bibir vagina itu membuka jalan bagi kontol gue yang sudah rindu pada memek artis.

Kontol gue sudah menempel.....

“Uuhh...” enak...

Gue masukkan pelan-pelan penis gue...

“uuuhh..”

Batangnya tidak bisa masuk sempurna..

Gue keluarkan....

Gue masukkan lagi..

Kali ini bisa lebih dalam..

Sekarang gue hentak...”UUKGGHH!” Kontol gue memblesak masuk dengan paksa. Tentu menggedor selaput daranya..”

Gigi menjerit sejadi-jadinya..

"AAAaaaaggggkkk!!"

Hormon seolah-olah memancar deras ke tubuh gue ketika mendengar teriakan itu. Gue...selalu terangsang lebih hebat ketika mendengar jeritan perempuan yang gue perkosa....

"aakkkh....aaahh...ooooohhhh.. ."

"Huuuh...uuuhhh.....uuuuhhh... ..uhhhh....”

Kali ini gue sudah benar-benar ngentot dia. Pinggul gue yang bermain..Maju-mundur..maju..mundur...Cepat ketika gue merasa perlu mengejar momen-momen kenikmatan. Dan gue perlambat ketika gue kecapaian, karena gue juga harus mengangkat sedikit tubuh cewek ini..

Gue melepas kontol gue sebentar. Berlumur darah. Keperawanannya udah gue renggut.. Gue mengambil asal sisa koyakan baju Gigi yang berserakan di lantai mengelap darah di kontol gue. Lalu gue lap juga darah perawan yang membasahi vaginanya.

Setelah itu gue kembali melampiaskan nafsu gue. Memanjakan kontol gue yang tak kunjung melemas itu...

Gue menghajar tubuhnya..Tanpa ampun... Gigi menjerit, meronta, berteriak. Gue senang. Gue bahagia.. Sensasi kenikmatan pelan-pelan melumat gue..

"Uuuuuggghhhh.......uuuuuggghh ...... uuuugggghhhh......"

Jeritan Gigi pun juga lumat di dalamnya...

Gue pernah mendengar kabarnya perawan bisa mati kesakitan jika dientot pertama kali dengan posisi tegak seperti ini..Tapi gue sudah nggak peduli. Gue sudah tenggelam dalam samudera kenikmatan yang diguyurkan dalam setiap hantaman kontol gue ke wilayah pribadinya itu..

Beberapa menit kemudian, gerakan gue melambat. Gue mulai letih. Saat itu gue mengisinya dengan memuaskan dahaga gue menghabisi bagian tubuh lainnya.. Tangan serta mulut gue dengan senang hati melakukannya. Pelepas kehausan utama itu tentu saja teteknya yang aduhai.. Gue remas berkali-kali, sebagai kompensasi nggak bisa melihat keindahannya dengan jelas dari belakang sini..


Gigi menggerang, "Aaaaaaakkkkkhhhhhhh......oooo hhh......"

Tidak seperti sebelumnya, dengan aktivitas tambahan gue itu, dia mulai ikut menikmati seks paksaan ini. Tidak ada rontaan minta tolong lagi..yang terdengar hanya desahan yang diiring deru nafasnya yang memburu..

"Oooooohhhh......aaahhh....aaa hhhh...aahh...”

"Hhmmmmm....mmmmmhhh....mmmmmh hhh..."

"Oooooohhhh....ooouuugggg..... .uuuugggg"

Gue meneruskan pelampiasan nafsu gue tanpa sungkan-sungkan.. Gue sempat merasakan badan Gigi bergidik setelah gue ngentotin dia cukup lama. Klimaks baginya mungkin, tapi gue nggak peduli karena yang lebih gue pentingin adalah hasrat gue sendiri yang menggila...

Kontol gue seperti diremas setiap kali melintasi lorong sempit itu.

"Aaaahhhh......aaahhhhhh.....a aaggghhhh... aaahhhhh..."

Akhirnya gue menuju puncak kenikmatan. Gue cabut kontol gue dari memeknya, berjalan ke depan artis muda itu. Gue memandang lekuk tubuhnya... Hmmm...bahkan mungkin lelaki impoten pun bisa sembuh kalau melihat bodi seperti ini...Gue menggosok-gosok penis gue dengan tangan gue sendiri, dan ngecrot di bagian tubuhnya yang paling membangkitkan libido....

Susunya..

Gue tumpahkan mani putih kental itu di payudaranya...

Crrooott...crooottt...crooott! !

Gue terengah-engah...HHh...hhh..hhh..hhh

Tetek itu sudah ternoda dengan tanda otentik dari gue... Dia nggak akan pernah melupakan itu...

Gue berjalan ke sudut ruangan, berdiri di samping jendela. Gue memandang ke luar jendela.

Di luar sepi.

Hmmm....

Di dekat gue ada dispenser. Gue mengambil gelas, mengisinya dengan air, lalu meminumnya...Aahh.. Gue taro lagi gelasnya.

Setelah itu gue berjalan kembali mendekati Gigi...

Tubuhnya lemas.

Gue sudah sangat dekat tepat berdiri di depannya tapi sudah tidak ada perlawanan sama sekali dari kakinya...

Gue pandangi wajahnya, matanya tertutup kain. Lalu susunya...
Buah dada itu menggantung masih dengan setelan yang elastis kencang walaupun sudah diganyang habis-habisan tadi.. Cairan putih kental meleleh di atasnya...

Birahi gue muncul lagi melihat air mani gue yang gue crot-in tadi bergerak perlahan mengikuti liuk bentuk payudaranya yang sensual.

Gue mendekap tubuhnya, kali ini dari depan. Gue belum puas. Gue akan tambah satu ronde lagi.. Kali ini gue dari depan, karena gue ingin melihat susunya yang berguncang-guncang saat kontol gue menohoknya berulang kali. Gue juga ingin melihat ekspresinya yang meringis menahan kesakitan yang luar biasa. Gue ingin melihat pantulan perasaan mimpi buruk yang menimpanya..

Posisi gue sudah siap pada tempatnya. Gue tangkap pantatnya, mengangkat tubuhnya. Dan menghunjamkan kontol gue lagi ke rongga pintu rahim itu..
Kontol gue kembali menelusup, menggarong liang kemaluannya. Menjarah semua yang tersisa setelah keperawanannya terampok dalam persenggamaan paksa gue sebelumnya.

"Aaaacckkkk....aaakkkkhhhh.... .aaahhh

"Ahhh...ahhhhh....aauuuggghhh. ..."

"Uuuggghhh...uuugghhh....eemmm gggg...uuhhh..."

"Aaaahhhh....aaaaaaiiiihhh...a aahhh...aaaggkkk ..."

Setelah beberapa lama gue capek, gue turunin pinggulnya. Sekarang giliran gue yang agak menurunkan lutut gue supaya posisinya pas. Kontol gue pun melanjutkan “rekreasinya”..

“Aah..aah..sst.. aaaghh...”

"Ah...aahh...aahh!"

"Uuuuggghhhh......uuuuuhhhh... .uuuhhhh....aaau uuhh hhh..”

Lagi...

lagi.....

Batang penis itu menusuk tanpa ampun...

"Uuuh...uuuh....uuaah..."

Gue menginkan ini tidak berakhir selamanya...

Tapi...

"Ah...aahh...aahh!"

Gue nggak tahan lagi...

Kenikmatan yang selalu gue idam-idamkan itu sudah menjemput gue. Gue sudah merasakannya membungkus seluruh badan gue..

Gue...

Akan ngecrot....

Gue meremas susunya lagi..melipatgandakan lompatan klimaks gue...

Gue bergumam dalam hati, Oh, Gigi...Dengan susu lo kayak gini, gue yakin kualitas ASI buat anak kita akan terjamin..

"Aaaaakkkkhhhh...."

Mata gue merem-melek, mengerjap-ngerjap cepat. Kontol gue benamkan dalam-dalam ke organ reproduksi Gigi. Cairan memuncrat keluar. Gue keluarkan semua peju di dalem liang kewanitaannya. Gue nggak langsung mencabut kontol gue itu. Gue bisa merasakan sebagian air mani tak tertampung merembes keluar vaginanya menyusuri kulit batang kejantanan gue...

Hhh...Nagita Slavina..

Setelah itu gue menjatuhkan diri gue. Merebahkan badan...”Hah..hah..hah..hah... ”. Nafas gue ngos-ngosan. Gue mengatur nafas.. Gue pandangi langit-langit...Penis gue lunglai setelah menumpahkan banyak peju di vagina Gigi.. Energi gue terkuras hebat..

***

Beberapa menit kemudian...

Gue sudah mengenakan pakaian gue kembali. Mengambil HP, memastikan kunci mobil sudah di tangan gue, mengambil ransel yang gue geletakkan di toilet waktu mengintip tadi. Di toilet gue melintasi si pria penjaga penitipan. Gue punya firasat sebentar lagi dia akan sadar. Dengan mengendap-ngendap namun langkah cepat gue kembali ke ruang fitnes melewati pintu keluar menuruni tangga menuju parkiran.

Di bawah gue melihat ada satu mobil terparkir. Gue mengenali mobil itu. Itu adalah Benz yang gue dan adik gue lihat dinaiki Gigi dan cowoknya.

Gue menangkap sesuatu yang lebih mengejutkan lagi. Beberapa meter dari situ ada tiga sosok manusia. Dua orang berpakaian hitam putih. Satpam. Mereka berdua sedang membuka ikatan yang mengikat satu orang lagi yang posisinya setengah duduk setengah tidur. Mulut laki-laki yang sedang dibuka ikatannya itu tertutup lakban. Salah seorang satpam membuka lakbannya. Gue melihat laki-laki itu berseru-seru dengan gusar mencoba memberitahukan hal gawat pada kedua satpam yang menemuinya. Gue mengenali laki-laki yang baru saja diselamatkan para satpam tersebut. Dia adalah cowoknya Gigi.

Gue bersembunyi, mencari jalan sedikit memutar. Mereka tidak melihat gue. Sambil berjalan mengendap-ngendap gue mengamati mereka. Salah seorang satpam berlari menaiki tangga menuju ruang fitnes.
Sesampainya di sana pasti ia akan menemukan hal yang mengejutkan dirinya. Ia tidak memerlukan waktu lama untuk menyimpulkan apa yang baru saja terjadi..

Ada perempuan terikat habis diperkosa. Ada satu pria kurus tergeletak masih menggenggam pisau dapur di tangannya. Ada cowok disekap di parkiran. Baik cowok yang baru saja ditolong satpam itu tadi maupun sang gadis tahu betul siapa yang meringkus dan menyekap mereka. Sudah pasti lah siapa yang disalahkan dalam tragedi malam ini...

Gue sudah berada di mobil, melaju di jalan raya. Sudah tengah malam. Sepi. Gue nyalain radio. Ada satu radio yang masih siaran. Satu lagu pop mengudara mengalun ke telinga gue...

Nagita Slavina...

Tiba-tiba gue teringat waktu itu, ketika gue dan adik gue duduk di ruang sofa di hari di mana kami nggak jadi fitnes...

“Hhh..cantik ya dia..” Kata gue waktu itu..

“Iya, udah gitu pinter lagi..” Adik gue langsung nyamber...

Waktu itu gue inget banget tampang adik gue, matanya berbinar-binar, cerah sumringah. Betapa antusiasnya ia waktu itu...

“...”

Tengah malam, di tengah jalan raya Jakarta. Di dalam mobil yang melaju, gue memukul kepala gue sendiri.
***

Mobil gue sedan, bukan truk, jadi wajar kalau mesinnya tidak berisik. Tapi malam itu memang sunyi sedang menjadi-jadi...

Hape gue bergetar, telpon dari Nina.

“Kamu di mana? Aku sama papa-mama udah sampai nih.”

“Aku lagi di jalan, tunggu sebentar lagi ya.”

“Kamu habis ngapain sih?”

“Sori. Mendadak aku tadi ada urusan mendesak.”

“Urusan apa?”

“Nanti aja aku ceritain.”

“Ya udah. Yang penting kamu nggak habis pacaran sama cewek lain aja, kan..” Nina tertawa renyah.

“Nggak, kok.”

“Ditunggu ya, sayang. Bye.” Klik. Nina menutup percakapan..

“...”

Sambil nyetir gue ngelamun, HP belum terlepas dari genggaman gue...

Tidak, Nina. Gue nggak habis pacaran sama cewek lain...

Gue habis membuahinya...

Gue sampai di restoran 24 jam tempat kita janjian. Nina dan papa-mamanya langsung menyambut gue. Selanjutnya kami berbasa-basi sedikit.

Setelah itu kami makan. Di tengah makan itu papanya Nina mulai menyerempet ke isu utama kenapa gue bertemu dengan mereka. Yang bikin gue bengong adalah ketika mamanya menimpali dengan semangat gimana senengnya mereka mendengar kabar bahwa kami berdua akan segera menikah..Gue serasa merosot dari bangku tempat gue duduk.

Nina menangkap kegusaran gue, langsung bilang. “Pa, Ma. Feri ke sini sebenarnya mau ngomong soal lain.”

Papa-mamanya memandang gue. Raut muka penasaran mereka tunjukkan.
Gue akhirnya ngomong, niatan gue, yang sudah gue omongkan dengan Nina. Bahwa kita berencana nggak nikah dulu, paling nggak untuk tahun ini. Entah tahun depan.

Kelar gue ngomong, papa-mamanya nggak kasih respon secara verbal. Tapi gue tahu mereka kecewa. Gue jadi nggak enak..

Setelah menyelesaikan makan malam. Kami bersiap-siap pulang. Ketika hendak berpisah tanpa diduga Nina nggak mau ikut papa-mamanya, dia bilang mau berduaan sebentar sama gue sebelum gue balik ke Dubai. Gue bilang ke papa-mamanya biar gue anterin dia ntar. Papa-mamanya pulang duluan.

Nina ngajak gue ke lantai paling atas dari restoran itu. Di lantai atas itu nggak ada atapnya, alias outdoor. Angin malam berhembus pelan. Kami berdiri di tepian memandang ke bawah, Jakarta tengah malam.

Gue melihat ujung jalan. Arah gue dateng tadi. Arah di mana fitnes center itu terletak. Gue bisa melihat sinar-sinar kelap-kelip dari mobil polisi di kejauhan sana. Gue menduga di sana sudah hiruk-pikuk sekarang.

Pandangan gue menerawang ke arah itu...

Gue inget saat pertama kali memutuskan membuat rencana menculik cewek-cewek BBB dulu di Puncak. Gue inget ada satu hal yang mendasari kenekadan gue dulu...untuk memberi pelajaran ke mereka tentang ketololan mereka.

Gue inget ketika menyergap Marshanda di kamar hotelnya dulu, semua karena kelakuannya yang sudah menghina gue..

Untuk pertama kalinya tadi gue memperkosa gadis tanpa alasan yang jelas..

Tapi, bukankah dia yang matahin hatinya adik gue, Rizki..

Apakah itu bisa jadi alasan?

Kesadaran gue kembali ketika tangan Nina meraba pipi gue. Gue menoleh ke arahnya. Wajahnya hanya beberapa inci dari gue. Bibirnya mendekat hendak mencium gue. Gue langsung memalingkan muka, menghindar.

Nina salah tingkah. Dia berdehem..

Suasana sempat hening. Gue juga ngerasa sangat nggak enak.. Gue sedang kalut..

Nina berbicara memecah suasana tidak enak sebelumnya, “Pertama kali aku ketemu kamu. Aku mengira kamu sama seperti pria-pria lain. Sombong, nggak tau gimana cara memperlakukan perempuan. Menganggap perempuan sebagai obyek untuk memuaskan hasrat semata...”

Gue menatapnya.

“Tapi kemudian aku sadar kalau kamu berbeda...Kamu bener-bener seorang gentleman.” Nina membetulkan posisi kerah kemeja gue.

Gue nelen ludah. Kali ini gue yang berdehem..

Gue melirik sebentar ke arah kelap-kelip sirine di ujung jalan sana... Terus kembali menatap Nina. Alisnya terangkat tidak mengerti tingkah laku gue yang aneh malam ini...

Sesuatu hal mengancam kewarasan gue. Gue harus....

“Nina. Maaf tadi aku sudah ngecewain orang tua kamu..”

Nina tersenyum, “Nggak papa kok. Aku ngerti. Pelan-pelan mereka juga pasti paham.”

Gue diem sebentar, terus buka mulut lagi, “Tapi...sepertinya aku berubah pikiran..”

Otak gue dipenuhi berbagai pikiran gak keruan. Gue mulai bertanya-tanya apakah gue akan gila. Gue merasa sisi gelap kehidupan gue mulai mengancam kehidupan normal gue. Gue harus berbuat sesuatu agar bisa kembali menjaga sisi kehidupan normal gue itu...

Gue tiba-tiba berlutut di hadapan Nina. Menggenggam erat tangannya..

“Nina...kamu mau jadi istri aku?”

“Ka..ka..mu?” Nina terkejut. Gue melihat matanya mulai membiaskan cahaya, mengkristal.. Tangannya terlepas dari genggaman gue kemudian menutup mulutnya menahan haru.

Gua pun kembali berdiri..

Gue mengulang pertanyaan gue dengan kalimat berbeda, “Maukah kamu menikah denganku?”


Nina tak kuasa menahan haru. Tidak ada satu kata pun terucap. Hanya anggukannya yang menjawab pertanyaan gue tadi...

Malam itu, hanya beratapkan langit, berhias bintang dan bulan, Gue mengecup pipinya...

Pipi itu merona...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar